-
-
10.07 * l.ll
35
LTEE
TUGAS II MAT...
Menjelaskan dan Mengidentifikasi Informasi dari Struktur Teks Cerita Sejarah
Bacalah cuplikan teks cerita sejarah Dyah Pitaloka Senja di Langit Majapahit karya Hermawan
Aksan (2005: 315-321) berikut ini.
Langit yang menaungi Negeri Sunda tetap kelabu, mega-mega ikut berduka, dan
gerimis turun tatkala menghadap Bunisora serombongan utusan dari Majapahit Wilwatikta.
Ketiga pemimpin urusan itu, masing-masing Sang Dharmmadhyaksa Ring Kacaiwan (kepala
agama Siwa), Dharmmadhyaksa Ring Kasogatan (kepala agama Buddha), dan
Dharmmadhyaksa Ring Waisnawa (kepala agama Wisnu), yang disertai pengiring masing-
masing, disambut gembira Mangkubumi Bunisora dan para pangagung negeri.
Para utusan menyampaikan surat prabu Hayam Wuruk yang tertulis di lembar-lembar
lontar. Bunisora mengurai empat lembar surat lontar Prabu Hayam wuruk.
Prabu Hayam Wuruk bercerita tentang kesalahpahaman antara Mahapatih Gajah Mada
dan utusan Negeri Sunda sehingga terjadi perang di Tegal Bubat. Semua orang Negeri Sunda,
termasuk Prabu Maharaja Linggabuana dan sang putri Dyah Pitaloka, gugur. Jumlahnya 93
orang. Di pihak lain, Majapahit kehilangan 1.274 prajuit dan perwira, 9 ekor gajah, dan 18 ekor
kuda.
Raja Majapahit juga memohon maaf atas segala kesalahan dan perbuatan yang telah
dilakukan oleh para senapati dan pasukannya, seraya berharap semoga gugurnya sang Prabu
Maharaja tidak membawa celaka dan melenyapkan kesentosaan hidup penduduk Negeri
Majapahit. Karena itu, Sri Rajasanagara Hayam Wuruk berjanji dengan sepenuh hati kepada
wakil raja Sunda, yaitu Mangkubumi Bunisora dan segenap pangagung kerajaan, angkatan
perang, keluarga raja, serta penduduk di seluruh wilayah Negeri Sunda, bahwa Majapahit tidak
akan menyerang Negeri Sunda dan tidak ingin menguasainya. Sebaliknya, Negeri Sunda
diharapkan tidak melakukan serangan balasan kepada Majapahit dan menganggap peristiwa
Bubat itu sebagai peristiwa yang sudah lewat.
Majapahit ingin bekerja sama dan bersahabat dengan Negeri Sunda, masing-masing
sebagai negera merdeka yang tidak akan bertentangan. Majapahit berjanji tidak akan menyakiti
hati penduduk Negeri Sunda untuk kedua kalinya.
Mangkubumi Bunisora Suradipati dan para petinggi serta keluarga raja terpaku tanpa
kata setelah membaca surat Raja Wilwatikta. Air mata pun tertahan lagi tumpah bersama-sama.
Mereka merasakan duka sangat dalam.
Mangkubumi Suradipati segera mengutus dutanya pergi ke Wilwatikta, mengambil
jenazah Prabu Maharaja, putri Dyah Pitaloka, para kesatria, dan semua prajurit Negeri Sunda
yang gugur di Palagan Bubat. Ketika berhari-hari kemudian semua jenazah tiba di istana,
permaisuri Nay Lara Lisning dan Mangkubumi Suradipati hanya bisa menatap nanar, dan
kemudian sama-sama terisak tak mampu menahan lagi duka yang tak terkira.
"Hina sekali perilaku Sang Patih Gajah Mada, sama sekali tak punya rasa kasihan,"
batin Mangkubumi Suradipati.
Tubuh Prabu Maharaja yang tanpa nyawa itu tetap memancarkan bau harum kembang
empat puluh rupa. Dan di wajah sang putri Dyah Pitaloka masih tersungging senyum yang
penuh cinta. Besoknya, semua jenazah dibakar dengan upacara keagamaan yang khidmat.
Jenazah Prabu Maharaja dibakar di atas tumpukan kayu cendana yang wanginya semerbak
memenuhi udara. Sesudah itu, jenazah sang putri Dyah Pitaloka. Disusul yang lain-lainnya.
Mengelilingi lapangan upacara, ribuan penduduk Negeri Sunda menyaksikan dengan
penuh duka.
Selain menggemparkan di negeri sendiri, peristiwa Bubat juga menjadi heboh bagi negeri-
negeri lain di Nusantara sehingga Prabu Maharaja Linggabuana menjadi masyhur. Karena
itulah, semua yang mengetahui dan mengenalinya memberikan gelar kepada Prabu Maharaja
Linggabuana sebagai Prabu Wangi. Namanya wangi semerbak ke segenap pelosok wilayah
Nusantara, sebagai raja yang berani membela martabat negeri dan rakyatnya, dan gugur
sebagai bunga Negeri Sunda. Sementara itu, sang Dyah Pitaloka terus dikenang sebagai
sumber ilham di sepanjang zaman.
Di istana Majapahit, Sri Rajasanagara jatuh sakit yang lama, karena kahyun ira masteri
lawan Dyah Pitaloka tan siddha, akibat duka dan penyesalan, tak tercapai hasratnya
ibunya
Tribhuanattunggadewi, dan adik-adiknya, Bre Lasem dan sang suami Raja Mataram
Rajasawardana serta Bre Pajang dan sang suami Raja Paguhan Prabu Singawardana, yakin
bahwa nama buruk Majapahit akibat peristiwa Bubatlah yang membuat Sri Rajasanagara sakit
parah. Semua akibat prakarsa dan ulah Mahapatih Gajah Mada. Mereka memutuskan bahwa
mempersunting Dyah Pitaloka tercinta.
Ayah sang Prabu, Kertawardana,
...