Cara Menggunakan Clearnote
SMA

riview kan jurnal tersebut

17:39 G ← DOC-20240302-WA0048._053234.pdf - Baca-saja K 7 KY L Clara Nuhermaria Agusta", Lydia Freyani Hawadi² 1,2Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Depok E-mail korespondensi: "clara.nuhermaria@gmail.com Keywords: academic hope, academic resilience, covid-19, student engagement, subjective well- being Kata kunci: academic hope, academic resilience, covid-19, student engagement, subjective well- being Abstract The Covid-19 pandemic has brought challenges to the field of education, especially with the student learning process. The situation has affected students' emotional state and level of subjective well-being. Therefore, this study examined the mediating role of academic hope on the associations between academic resilience, student engagement, and subjective well-being. The participants consisted of 509 senior high school and vocational students [402 females (79%), and 107 males (21%)]. Data were collected using the Brief Adolescence Subjective Well-Being Scale in School (BASWBSS), Academic Resilience Scale, Student Engagement during Learning Activities, and Domain Specific Hope Scale. The structural equation modeling (SEM) results indicated that academic hope fully mediates the impact of student engagement on subjective well-being, and partially mediated the impact of academic resilience on subjective well-being. The findings of this study can be used. as a reference for school psychologists to develop academic resilience, student engagement, and academic hope to improve students' subjective well-being. 69 Abstrak Pandemi Covid-19 telah membawa sejumlah tantangan pada bidang pendidikan, khususnya pada proses belajar siswa. Situasi pandemi telah mempengaruhi kondisi emosi siswa dan tingkat subjective well-being. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat peran mediasi academic hope dalam hubungan antara academic resilience, student engagement, dan subjective well-being. Partisipan dari penelitian in iadalah 509 siswa tingkat SMA Negeri dan swasta [402 perempuan (79%), dan 107 laki-laki (21%)]. Data penelitian diambil dengan menggunakan kuesioner Brief Adolescence Subjective Well-Being Scale in School (BASWBSS), Academic Resilience Scale, Student Engagement during Learning Activities, dan Domain Spesific Hope Scale. Hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan structural equation Clara Nuhermaria Agusta, Lydia Freyani Hawadi 231 JURNAL PSIKOLOGI Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan modelling (SEM) menunjukkan bahwa academic hope memedlasdarih22bungan antara student engagement dan subjective well-being, dan memediasi secara parsial hubungan antara academic resilience dan subjective well-being. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh konselor dan psikolog sekolah sebagai referensi untuk mengembangkan academic
17:40 ← DOC-20240302-WA0048._053234.pdf - Baca-saja L K 7 Pendahuluan Sejak Maret 2020, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghentikan pembelajaran tatap muka di sekolah dan melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19. Situasi ini telah menciptakan tantangan yang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan siswa. Sebuah penelitian yang dilakukan di Tiongkok oleh Zhang dkk., (2020) menunjukkan adanya dampak psikologis yang signifikan dari pandemi Covid-19 terhadap siswa, baik di tingkat SMP maupun SMA. Berkurangnya interaksi sosial, adanya aturan untuk selalu tinggal di rumah, kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah, perubahan rutinitas sehari-hari, rasa khawatir mengalami sakit, dan juga rasa bosan memiliki efek psikologis yang dramatis pada remaja (Zhang dkk., 2020). Studi tersebut juga menemukan bahwa gejala depresi dan kecemasan pada siswa SMP dan SMA mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Solekhah (2021) juga menunjukkan bahwa siswa SMA merasakan emosi negatif seperti bosan, tidak bahagia, dan kesepian akibat pandemi Covid-19. 232 69 Penelitian mengenai dampak pandemi Covid-19 pada dunia pendidikan di Indonesia biasanya terfokus pada tantangan teknis, seperti kurangnya infrastruktur atau kompetensi guru dalam melakukan pembelajaran daring (Purwanto dkk., 2020; Rasmitadila dkk., 2020). Kajian mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap kesejahteraan siswa di Indonesia masih terbatas, terutama pada kelompok siswa sekolah Subjective Well-Being pada Siswa SMA selama Pandemi Covid-19: Peran Academic Hope sebagai Mediator Volume 10, Nomor 2, September 2023 menengah atas. Diener mendefinisikan subjective well-being (SWB) atau kesejahteraan subjektif sebagai evaluasi kognitif dan afektif terhadap kehidupan seseorang (Diener, 2000). Ada tiga komponen SWB: life satisfaction, positive affect, dan negative affect. Secara lebih spesifik, subjective well-being in school atau kesejahteraan subjektif di sekolah didefinisikan sebagai dominasi emosi positif di sekolah, emosi negatif yang rendah tentang sekolah, dan kepuasan siswa terkait sekolah (Aulia dkk., 2020). Kepuasan terhadap sekolah (school satisfaction) merupakan komponen kognitif dari SWB. School satisfaction merepresentasikan bagaimana siswa secara kognitif dan subjektif mengevaluasi kehidupan sekolah 2 dari 22gunakan standar internal mereka masing-masing. Selanjutnya, komponen afektif dari SWB merepresentasikan frekuensi perasaan positif dan negatif yang dirasakan oleh siswa selama masa sekolah (Tian, 2008 ||
17:40G ← DOC-20240302-WA0048._053234.pdf - Baca-saja L menengah atas. Diener mendefinisikan subjective well-being (SWB) atau kesejahteraan subjektif sebagai evaluasi kognitif dan afektif terhadap kehidupan seseorang (Diener, 2000). Ada tiga komponen SWB: life satisfaction, positive affect, dan negative affect. Secara lebih spesifik, subjective well-being in school atau kesejahteraan subjektif di sekolah didefinisikan sebagai dominasi emosi positif di sekolah, emosi negatif yang rendai tentang sekolah, dan kepuasan siswa terkait sekolah (Aulia dkk., 2020). Kepuasan terhadap sekolah (school satisfaction) merupakan komponen kognitif dari SWB. School satisfaction merepresentasikan bagaimana siswa secara kognitif dan subjektif mengevaluasi kehidupan sekolah dengan menggunakan standar internal mereka masing-masing. Selanjutnya, komponen afektif dari SWB merepresentasikan frekuensi perasaan positif dan negatif yang dirasakan oleh siswa selama masa sekolah (Tian, 2008 dalam Tian dkk., 2015). K 7 Untuk meningkatkan tingkat SWB di sekolah perlu dilihat faktor-faktor apa saja yang dapat memprediksi SWB. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa resiliensi memiliki hubungan dengan SWB, akan tetapi hubungan antara resiliensi dan SWB tidak mudah untuk dijelaskan (Hu dkk., 2015). Ong dkk., (2006) menyatakan bahwa individu yang memiliki resiliensi tinggi akan pulih dengan lebih efektif ketika menghadapi stresor sehari-hari. Semakin tinggi tingkat resiliensi seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidup yang dimiliki individu tersebut (Mak dkk., 2011). Dengan demikian, resiliensi dapat menjadi prediktor yang berpengaruh positif terhadap komponen kognitif dari SWB. Selain mampu menjadi prediktor komponen kognitif, resiliensi juga dapat menjadi katalis munculnya emosi positif dalam situasi stres (Mak dkk., 2011). Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa resiliensi juga mempunyai hubungan dengan komponen afektif dari SWB. Clara Nuhermaria Agusta, Lydia Freyani Hawadi 69 Resiliensi dalam konteks akademik disebut dengan academic resilience. Martin (2013) mendefinisikan academic resilience sebagai kapasitas yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesulitan-kesulitan berat atau akut yang dapat mengancam perkembangan akademik peserta didik. Martin & Marsh (2006) juga mendefinisikan academic resilience sebagai kemampuan siswa dalam menghadapi kegagalan, tantangan, 233 3 dari 22 JURNAL PSIKOLOGI Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan kesulitan, dan tekanan dalam bidang akademik. Konsep resiliensi akademik yang
17:40G ← DOC-20240302-WA0048._053234.pdf - Baca-saja L Viana munomana Ayuola, Lyula Toya K 7 234 69 kesulitan, dan tekanan dalam bidang akademik. Konsep resiliensi akademik yang dikembangkan oleh Martin & Marsh (2006) lebih mengacu pada kesulitan-kesulitan besar, akut, dan kronis yang dialami siswa yang mempengaruhi perkembangannya. Oleh karena itu pada tahun 2008, Martin dan Marsh (Martin & Marsh, 2009) mengembangkan konsep baru yang disebut dengan academic buoyancy. Academic buoyancy didefinisikan sebagai kemampuan siswa untuk mengelola stres yang berhubungan dengan akademik sehari-hari seperti mendapat nilai buruk atau merasa kurang percaya diri (Martin & Marsh, 2009). Namun penelitian yang dilakukan oleh Stephens (2019) menunjukkan bahwa korelasi academic resilience dan academic bouyancy terlalu tinggi untuk dianggap sebagai konstruk yang berbeda (r = 0,98). Stephens (2019) menyatakan bahwa kedua konstruk tersebut mengukur hal yang sama pada tingkat yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini akan fokus pada academic resilience karena dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 lebih dari sekedar nilai buruk dan disengagement, namun merupakan suatu kondisi yang menyebabkan kecemasan dan stres akut pada siswa sekolah menengah. Dengan demikian, academic resilience merupakan aspek yang relevan untuk ditelaah lebih jauh mengingat besarnya tantangan dan kesulitan yang dialami siswa dalam beradaptasi dengan proses pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Siswa dengan tingkat resiliensi tinggi biasanya diidentifikasi sebagai mereka yang mengalami stres tinggi namun menunjukkan hasil positif dalam hal penyesuaian diri, keberhasilan di sekolah, kemandirian, dan hubungan dengan teman berdasarkan penilaian yang diberikan oleh guru, orang tua, atau teman di sekitarnya (Lightsey, 2006). 4 dari 22 Subjective Well-Being pada Siswa SMA selama Pandemi Covid-19: Peran Academic Hope sebagai Mediator VUNNAL VINULUI Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan Faktor lain yang diperkirakan juga dapat memengaruhi SWB siswa di sekolah dalam situasi pandemi adalah keterlibatan siswa (student engagement). Sebuah survei nasional di Australia menunjukkan bahwa terjadi penurunan student engagement dan juga sense of belongingness akibat pandemi Covid-19 (Tice dkk., 2021). Survei lainnya menunjukkan bahwa tingkat retensi siswa dalam pembelajaran daring secara signifikan lebih rendah dibandingkan pembelajaran tatap muka (Meyer, 2014). Kesulitan teknis yang dirasakan siswa dapat menimbulkan rasa frustasi dan pada akhirnya menurunkan Volume 10, Nomor 2, September 2023
17:40 o ← DOC-20240302-WA0048._053234.pdf - Baca-saja L Clara Nuhermaria Agusta, Lydia Freyani Hawadi K 7 komitmen siswa untuk belajar (Kahn dkk., 2017). Menurunnya student engagement dalam mengikuti pembelajaran daring merupakan hal yang sangat disayangkan, khususnya karena bagi sebagian besar pelajar remaja, sekolah merupakan bagian penting dalam hidup mereka. Demirci (2020) menyatakan bahwa student engagement di sekolah merupakan salah satu variabel signifikan dalam pendidikan karena mampu meningkatkan performa akademik siswa, mengurangi stres dan kekecewaan, dan mencegah dropout. Berbagai penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa student engagement merupakan salah satu prediktor well-being pada kaum remaja dan memiliki dampak yang positif (Boulton dkk., 2019; Demirci, 2020). Secara umum, engagement didefinisikan sebagai keadaan psikologis dan pikiran yang membentuk konektivitas mental serta membawa energi, absorpsi, dan dedikasi (Christenson dkk., 2012). Tomás dkk., (2020) mendefinisikan student engagement sebagai keterlibatan aktif seorang siswa dalam kegiatan belajar-mengajar dan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Dengan demikian, student engagement dapat didefinisikan sebagai investasi psikologis dan upaya yang ditunjukkan oleh siswa untuk belajar, memahami, dan menguasai pengetahuan, dan keterampilan yang dibutuhkan dalam situasi akademik. Berbagai penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa student engagement merupakan konstruk multidimensi. Meskipun demikian, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah dan jenis dimensi dari konstruk tersebut (Christenson dkk., 2012). Fredricks dkk., (2004) menggagas tiga dimensi dari student engagement: behaviroal engagement, emotional engagement, dan cognitive engagement. Emotional engagement mengacu pada minat dan emosi positif yang dirasakan siswa selama proses pembelajaran, serta tidak adanya emosi negatif, kecemasan, dan persepsi terkait stres (Skinner dkk., 2009). Behavioral engagement mengacu pada tindakan, upaya, dan kegigihan yang ditampilkan siswa dalam mencapai suatu tujuan (Skinner dkk., 2009). Sedangkan, cognitive engagement adalah kerja sistem mental dan strategi belajar yang diterapkan siswa dalam proses belajar-mengajar dan mengerjakan tugas (Walker dkk., 2006). Pada tahun 2011, Reeve dan Tseng mengembangkan dimensi keempat dari engagement yang disebut agentic engagement. Agentic engagement merupakan kontribusi 235 69 JURNAL PSIKOLOGI Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan

Answers

No answer yet

Apa kebingunganmu sudah terpecahkan?